Lembaga Eksekutif dan Legislatif pada 3 Orde
a. Era
Orde Lama tahun 1959 – 1966
Secara fundamental, orde lama merupakan sebuah era dimana terlegitimasinya
demokrasi terpimpin oleh Soekarno. Dalam hal ini, Presiden memiliki kekuasaan
mutlak dan absolut. Kedudukan eksekutif dalam hal ini presiden Soekarno
tercermin tanpa batas, bahkan beliau mengangkat dirinya sendiri sebagai
Presiden seumur hidup, dengan persetujuan MPR pada fase selanjutnya. Jika kita menilik ke belakang, kekeliruan terbesar yang
terjadi pada era Demokrasi Terpimpin Soekarno atau orde lama adalah terjadinya
pengingkaran terhadap nilai-nilai demokratisasi, dalam hal ini absolutisme dan
terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin atau presiden. Sentralisasi
kepemimpinan serta sentralisasi pembangunan menjadi faktor utama penggerak
geliat gerakan separatis di daerah. Hal ini barang tentu menjadi cerminan
kesenjangan antara pusat dan daerah, utamanya isu yang menyeruak pada saat itu
adalah tidak meratanya pembangunan antara jawa dan luar jawa. Disisi lain,
tidak ada ruang kontrol sosial serta check and balance dari lembaga legislatif
terhadap eksekutif menjadi pertanda wafatnya demokratisasi pada era tersebut.
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno
menyatakan bahwa Indonesia kembali kepada UUD 1945. Pada saat itu terdapat 19
fraksi dalam DPR, didominasi oleh PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Berbicara mengenai kondisi parlemen di masa
pemerintahan Soekarno, begitu dinamis. Dalam perjalanannya, presiden Soekarno pernah mengeluarkan
Penpres No. 3 tahun 1960, dimana presiden membubarkan DPR. Hal ini terjadi
karena DPR hanya menyetujui 36 milyar rupiah APBN dari 44 milyar yang diajukan.
Setelah pembubaran tersebut, presiden mengeluarkan Penpres No. 4 tahun 1960
yang mengatur Susunan DPR-Gotong Royong (DPR-GR). Pada saat itu DPR-GR
beranggotakan 283 orang yang semuanya diangkat oleh presiden dengan Keppres No.
156 tahun 1960.
Adapun salah satu kewajiban pimpinan DPR-GR adalah
memberikan laporan kepada presiden pada waktu-waktu tertentu. Kewajiban ini
merupakan penyimpangan dari Pasal 5, 20, dan 21 UUD 1945. Selama 1960-1965,
DPR-GR menghasilkan 117 UU dan 26 usul pernyataan pendapat. Dari contoh kasus
yang pernah terjadi di era Orde Lama tersebut, maka sangat jelas tercermin ketimpangan
implementasi trias politika Montesqiu. Hal yang tidak lumrah ketika lembaga
legislative harus bertanggung jawab kepada lembaga eksekutif dan begitu pula
sebaliknya jika merujuk dalam sistem pemerintahan yang dianut Indonesia.
Kondisi lembaga eksekutif di era Orde Lama tak ubahnya seperti sebuah sistem
monarki dimana seakan-akan Soekarno memposisikan dirinya sebagai Raja yang
terpatri dalam patron pemimpin besar revolusi dengan lembaga legislative yang
lumpuh tak berkutik. Sisi baiknya adalah, sebagai Negara yang baru merdeka,
baru berdaulat dan masih menapaki kedigdayaan, Indonesia terhitung berhasil
memposisikan diri sebagai Negara besar yang besar pula di mata dunia
internasional. Bersama pemimpin-pemimpin revolusionis kala itu seperti Fidel
Castro cs, Soekarno membawa Indonesia menjadi Negara yang disegani, dihormati,
bahkan ditakuti oleh Amerika Serikat bersama Sekutunya.
b. Era Orde Baru tahun 1966 – 1998
Orde Baru pada hakikatnya merupakan kristalisasi dari upaya Presiden
Soeharto untuk melakukan koreksi terhadap era orde lama. Koreksi yang dimaksud
adalah mengembalikan kekultusan Pancasila dalam sendi-sendi kehidupan bangsa
dan negara. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, banyak terjadi
penyimpangan-penyimpangan yang justru menjadi pembenaran penguasa. Kondisi
lembaga eksekutif di era Orde Baru cenderung mengikuti pendahulunya, meskipun
dengan beberapa modifikasi. Meskipun diadakan pemilu dan ragam pola
demokratisasi yang sebenarnya hanya rekayasa belaka, tidak membuat Soeharto
turun dari tahta penguasa, hal ini menandai tidak adanya rotasi eksekutif di
era Orde Baru.
Rekayasa politik atau seringnya pemerintah mengemas kepemimpinan otoriter
ke dalam ruang demokratisasi tampaknya berjalan mulus. Pembatasan partisipasi
masyarakat dalam pemilu, pembatasan partai, ideologi tunggal Pancasila dan
pembatasan pers jelas menguat di era Orde Baru. Hanya ada 3 partai yang
mengikuti pemilu dengan kontrol penuh dari Soeharto bersama ABRI. Dwifungsi
ABRI menjadi modifikasi sekaligus suksesi yang tidak sempat terpikirkan oleh
pendahulu Soeharto. ABRI layaknya menjadi alat utama lembaga eksekutif saat itu
dalam menjaga dan mempertahankan stabilitas keamanan dan pertahanan negara,
baik yang bersifat internal negara maupun eksternal negara. Kekuasaan eksekutif
menjadi absolut seiring dengan pasifnya legislatif. Pada saat itu lembaga
legislatif tak ubahnya seperti lembaga administrasi yang sifatnya formalitas
belaka. Tukang cap undang-undang atau lebih kepada fungsi pengesahan semata
tanpa ada proses yang lebih sebagai tolak ukur layak tidaknya undang-undang
tersebut disahkan atau tidak menjadi julukan lembaga legislatif saat itu. Di
era Orde Baru, kita mengenal adanya lembaga tinggi negara dan lembaga negara
dibawahnya yaitu MPR sebagai lembaga tinggi negara dan DPR sebagai lembaga
negara.
Lembaga eksekutif di era kepemimpinan Soeharto memiliki peran yang
strategis. Hal ini sebagai salah satu upaya Soeharto menjaga stabilitas
politik. Selama tiga puluh dua tahun lembaga legislatif mem-backup dan memberi
ruang gerak seluas-luasnya kepada Soeharto. Komposisi lembaga legislatif saat
itu agak berbeda bahkan cenderung aneh, hal ini terbukti dengan diakomodirnya
ABRI dalam komposisi parlemen, dimana ABRI diberikan jatah satu fraksi. Golkar
sebagai salah satu motor penggerak Soeharto beserta ABRI didalamnya menjadi
settingan terkuat Soeharto selama beliau memimpin. Tak heran jika beliau dapat
bertahan lama di kursi penguasa.
Sama halnya dengan Soekarno, Soeharto menjadi pemimpin yang disegani,
dihormati bahkan ditakuti dimata dunia internasional. Sosok yang berjuluk the
smiling general ini begitu diperhitungkan karena berhasil membawa Indonesia
menjadi salah satu macan Asia dengan perekonomian yang tumbuh tinggi, menguat
serta dari segi pertahanan dan keamanan, pengembangan teknologi Indonesia
tergolong negara yang maju, karena menjadi pusat pengembangan teknologi
alutsista terbesar dan terlengkap di Asia tenggara. Disisi lain, suramnya
demokratisasi membuat lembaga eksekutif semakin tidak berdaya dari hari ke hari.
Sebagian besar kursi yang ada di DPR diisi oleh kader dari Golkar dan ABRI,
belum lagi handay taulan cendana yang mengerubuni parlemen. Membuat kondisi
eksekutif dan legislatif menjadi berat sebelah.
c. Era Reformasi tahun 1998 – Sekarang
Era Reformasi ditandai dengan turun tahtanya Presiden Soeharto pada tanggal
21 Mei 1998.Dalam masa pemerintahan Reformasi dari Habibie, Gusdur, Megawati
hingga SBY, nampak jelas arah perubahan yang dinamis dan membaik. Kedudukan
eksekutif menjadi setara dengan lembaga-lembaga lainnya yaitu legislatif dan
yudikatif. Eksekutif masih memiliki kekuasaan penuh karena menganut sistem
presidensil, namun tetap diimbangi oleh lembaga legislatif. Terjadi empat kali
amandemen atau perubahan undang-undang dasar 1945 yang menyangkut dwifungsi
abri, penegakan HAM dan otonomi daerah. Eksekutif dibantu oleh jajaran menteri
diberi ruang yang cukup besar untuk mengelola negara dan memaksimalkan upaya
mensejahterakan masyarakat dengan regulasi-regulasi yang berdasar kepada persetujuan
DPR.
Lembaga legislatif kini menjadi tiga lembaga yaitu MPR, DPR dan DPD. MPR
tidak lagi menjadi lembaga tinggi negara melainkan setara dengan lembaga
lainnya. MPR tidak lagi merumuskan dan menetapkan GBHN karena GBHN telah
dihapuskan, mengikut pada program eksekutif terpilih. Anggota MPR terdiri dari
anggota DPR dan DPD. MPR sebagai lembaga legislatif kini tidak lagi memiliki
kewenangan super bahkan tidak dapat menjatuhkan atau mencabut mandat Presiden,
karena Presiden bertanggung jawab kepada rakyat. MPR terlihat eksis salah
satunya hanya pada saat pelantikan Presiden dan wakilnya. DPR sebagai lembaga
legislatif di era Reformasi layaknya lembaga tinggi karena segala sesuatu yang
akan dilaksanakan oleh pemerintah baik berupa program, kebijakan, regulasi yang
bersifat politis harus mendapat persetujuan DPR.
Fungsi utama DPR ada tiga, yaitu anggaran, pengawasan dan pembuatan
regulasi atau undang-undang. DPD idealnya merupakan wakil daerah yang menjadi
representasi daerah di Pusat. Namun pada perkembangannya, DPD tidak berfungsi
dengan baik, karena menurut struktur dan pola kerja tiga lembaga negara
(lembaga legislatif), DPD lah yang kedudukannya paling lemah, karena tidak
memiliki fungsi strategis, melainkan sepertinya hanya sebagai peninjau dan pelengkap
saja. Anggaran yang dikucurkan kepada DPD ditengarai banyak diselewengkan untuk
kepentingan pribadi. Hal yang aneh mengenai kedudukan eksekutif dan legislatif
di era Reformasi adalah sistem pemerintahan Indonesia yang sangat dinamis.
Sebuah sistem presidensial yang memiliki cita rasa parlementer. Hal ini karena
pada beberapa kasus, parlemen atau DPR seringkali menempatkan dirinya
seakan-akan dapat menghakimi dan mencabut mandat presiden dengan mosi tidak
percayanya. Hal yang sama sekali tidak masuk akal di dalam sistem presidensial.
Kewenangan yang melampaui batas inilah seringkali membuat hubungan pemerintah
dengan parlemen tidak harmonis.